Mungkin masih banyak dari
kalian yang berpikiran bahwa Indonesia hingga saat ini baru dipimpin oleh tujuh
presiden, yaitu Soekarno, Soeharto, B.J. Habibie, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus
Dur), Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan kini Ir Joko
Widoo (Jokowi). Namun hal itu ternyata keliru atau salah. Indonesia, menurut
catatan sejarah, hingga detik ini sebenarnya sudah dipimpin oleh sembilan orang
presiden. Lalu siapakah dua orang yang pernah menjabat sebagai presiden dan
tidak tercatat itu? Berikut penjelasannya seperti yang sudah dihimpun oleh
JadiBerita.
Dua tokoh yang terlewat itu
adalah Syafruddin Prawiranegara dan Assaat. Keduanya tidak disebut, bisa karena
absen atau terlupakan, atau bahkan mungkin juga disengaja.
Syafruddin Prawiranegara, atau
juga ditulis Sjafruddin Prawiranegara lahir di Banten, 28 Februari 1911. Beliau
adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia yang juga pernah
menjabat sebagai Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia)
ketika pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda
saat Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948.
Di masa kecilnya akrab dengan
panggilan “Kuding”, dalam tubuh Syafruddin mengalir darah campuran Banten dan
Minang. Buyutnya, Sutan Alam Intan, masih keturunan Raja Pagaruyung di Sumatera
Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat Perang Padri. Menikah dengan
putri bangsawan Banten, lahirlah kakeknya yang kemudian memiliki anak bernama
R. Arsyad Prawiraatmadja. Itulah ayah Kuding yang, walaupun bekerja sebagai
jaksa, cukup dekat dengan rakyat, dan karenanya dibuang Belanda ke Jawa Timur.
Kuding, yang gemar membaca
kisah petualangan sejenis Robinson Crusoe, memiliki cita-cita tinggi. “Ingin
menjadi orang besar,” katanya. Itulah sebabnya ia masuk Sekolah Tinggi Hukum
(sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia) di Jakarta (Batavia).
Sementara itu, Assaat, adalah
tokoh pejuang Indonesia, pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia pada masa
pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta yang merupakan bagian dari
Republik Indonesia Serikat (RIS).
Assaat yang dilahirkan di dusun
pincuran landai kanagarian Kubang Putih Banuhampu adalah orang sumando Sungai
Pua. Assaat menikah dengan Roesiah, wanita Sungai Pua di Rumah Gadang Kapalo
Koto, yang telah meninggalkan beliau pada tanggal 12 Juni 1949, dengan dua
orang putera dan seorang puteri.
Sekitar tahun 1946-1949, di
Jalan Malioboro, Yogyakarta, sering terlihat seorang berbadan kurus semampai
berpakaian sederhana sesuai dengan irama revolusi. Terkadang ia berjalan kaki,
kalau tidak bersepeda menelusuri Malioboro menuju ke kantor KNIP tempatnya
bertugas. Orang ini tidak lain adalah Assaat, yang selalu menunjukkan sikap
sederhana berwajah cerah di balik kulitnya yang kehitam-hitaman. Walaupun
usianya saat itu baru 40 tahun, terlihat rambutnya mulai memutih. Kepalanya
tidak pernah lepas dari peci beludru hitam.
Assaat bisa dibilang merupakan
tokoh penting, karena beliau jugalah yang telah mendirikan Universitas Gadjah
Mada (UGM) Yogyakarta ketika memangku jabatan presiden RI. Menghilangkan Assaat
dari realitas sejarah kepresidenan RI sama saja dengan tidak mengakui
keberadaan UGM sebagai universitas negeri pertama yang didirikan oleh Republik
Indonesia.
Menurut Jimly Asshiddiqie, guru
besar tata negara Indonesia, jika kita hanya berbicara dalam konteks
Republik Indonesia semata dan tidak memperhitungkan keberadaan Republik
Indonesia Serikat (RIS) sebagai hasil kompromi dengan Kerajaan Belanda, maka
catatan sejarah tentang Presiden Republik Indonesia harus dilengkapi dengan
menambahkan nama Assaat sebagai Presiden ke-3 Republik Indonesia sesudah
Soekarno dan Sjafruddin Prawiranegara.
Namun, jikalau kita tetap
mengakui adanya Republik Indonesia Serikat dan kita melihat Negara Indonesia
sebagai wadah kesatuan kebangsaan dan kenegaraan dari Sabang sampai ke Merauke
yang merdeka, berdaulat, dan diakui di dunia Internasional, maka jabatan
Presiden Assaat ketika itu hanya dapat kita pandang sebagai jabatan kepala
daerah atau kepala negara bagian. Istilah yang dipakai memang Presiden, tetapi
pada hakikatnya jabatan Presiden RI sebagai negara bagian ketika itu adalah
jabatan Gubernur.
Setelah mengetahui kedua tokoh
tersebut, ada baiknya kita sebagai rakyat Indonesia mengajukan rekomendasi
kepada pemerintah agar memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada kedua
tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia itu dan mengukuhkan mereka sejajar dengan
para presiden RI yang telah dikenal masyarakat. Kita selalu diingatkan oleh
Presiden Soekarno dengan slogan “Jasmerah”-nya, agar kita jangan sekali-kali
melupakan sejarah. (tom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar