Selasa, 29 November 2016

Tentangku dan Pekerjaanku Bersama Ibukota



Lebih dari satu bulan aku telah terbelit pemikiran yang cukup berkecamuk dalam otakku, kebingungan yang tak kunjung usai menghantui ketetapanku untuk memilih, kebimbangan dalam melangkah terus saja membayangiku dalam perjalanan untuk selanjutnya yang akan ku tempuh.
 
Hampir setiap hari semua itu selalu ada dalam fikiran, segala macam bentuk kemungkinan, semua masuk dalam fikiran. Baik buruknya semua menjadi bahan pertimbangan, termasuk masukan, kritik atau saran dari yang ada disekitar menjadi bahan pertimbangan, yang pada akhirnya semakin menambah bimbangnya sikap yang harus ku tentukan.

Bukan karena aku tidak menyukai atau aku membenci lingkungan yang ada disini ( di kantor ), bukan pula karena aku mendapatkan tempat lain yang seakan lebih (dalam hal pendapatan) dari tempat ini. Semua yang aku rasakan pada lingkungan kantor, berinteraksi pada semua pegawai kantor, semua terasa nyaman, aku mampu untuk beradaptasi, sehingga semua menjadikan nyaman dalam menjalaninya. Semakin berjalannya waktu, hari terus terlewati, semakin banyak yang ku kenal dan ku ketahui semakin pula menambah kenyamanan untuk terus menjalani aktivitas.

Itulah sebabnya kenapa kebimbangan ini semakin sulit untuk aku mengambil keputusan, karena memang semua yang telah ku jalani selama ini setidaknya aku mampu beradaptasi dan sidikit banyak telah memahami. Bandingkan jika aku harus pindah pada tempat lain (keluar dari kontor ini) pasti aku akan melangkah lagi dari awal, perkenalan, mencari tau, memahami segala sesuatu yang ada di tempat baru, dan itu pasti akan memakan waktu yang cukup banyak. Waktu yang seharusnya untuk mengenal lingkungan baru tersebut, mungkin bisa aku pakai untuk semakin memahami pada tempat kerja lamaku yang semua itu berorientasi pada masa depan. Semakin sulit untuk memutuskan langkah yang harus ku tempuh selanjutnya, sementara waktu terus berjalan, dan keberadaanku (waktu) disini akan semakin berkurang pula, sejalan dengan keadaan demikin, maka sebaiknya aku harus sesegera mungkin untuk menentukan sikap mengambil keputusan sebagai pijakan langkah selanjutnya.

Karena memang puncak dari semua kebimbangan belum juga memperoleh kesimpulan untuk membuatku menentukan segalanya dalam melangkah, maka kini aku hanya bisa tergenang dalam ketidakpastian, pasrahku atas ketidak berdayaan pada keadaan yang nyata yang ada dihadapan, selalu berharap kemungkinan-kemungkinan yang terbaik yang akan terjadi yang akan ku terima dikemudiannya. Namun segala sesuatunya masih selalu bersifat kemungkinan yang masih belum ku ketahui sampai detik ini tentang itu, mungkin aku akan mencoba untuk menetap, atau mungkin aku harus bergerak mencari tempat lain, atau mungkin aku harus mencari ditempat lain dengan mengambil langkah balik kanan kembali ke Jogja atau mungkin justru kembali ke tanah kelahiran Jambi, kota seberang di pulau Sumatera. Semua tiada yang bisa memastikan kecuali DIA yang Maha Menentukan.

Jakarta, 29 November 2016
Kalibata, Jakarta Selatan.

Rabu, 16 November 2016

Kerikil Kecil Anak Rantau



Sedang ku renungkan atas apa yang ku alami sekarang ini, dimana tentangku yang harus ku perbaiki, mengapa semua terasa tidak lagi menyenangkan, benarkah demikian adanya atau hanya sekedar hawa nafsu ambisi keduniaanku saja, atau kah mungkin aku sedang jadi korban keadaan yang begitu keras seakan membuat aku harus lumpuh tak berdaya hingga harus menjadi budak terlebih di perbudak. Tentang tanya yang hanya terngiang dan terus menghiasai fikiran tanpa mampu mndapat juga menemukan jawaban. Bukan karena aku sedang mengeluh atau meminta belas kasih dari siapa yang mengetahui atau mendengar desahan tentang permasalahan yang ada, hanya sedikit rintihan yang mungkin diriku sedang beradaptasi dengan keadaan.

Mencoba mengikuti alur perjalanan waktu yang ku rasakan dengan penuh liku dan terjal setiap langkahnya. Ingin rasanya berontak dan meronta namun tak kuasa. Air mata ini sudah tak kuasa lagi untuk melintas di pipi, entah karena telah mengering atau mungkin tak lagi tersisa. Semua hanya ada diangan, semua hanya bisa terbayangkan, tak mampu rasanya tubuh, raga ini untuk merasakannya. Sungguhpun demikian, bahwa hidup terus berjalan, waktu terus berlalu, maka tidak ada alasan untuk menghentikan langkah.

Merenungi keadaan, tentu ada baiknya, sebagai bahan mawas diri, introspeksi, juga untuk memulai kembali langkah selanjutnya. Apa dan bagaimana menentukan langkah, mengambil keputusan dan juga tindakan. Namun tidak terlarut pada segala kebimbangan yang sangat memprihatinkan.

Hingga tak sadar, bahwa malam telah larut, hingga kurasakan lelah dengan tiada tara, mata yang tak lagi mampu terbuka, seakan menuntut untuk di pejamkan walau sesaat, tangan dan kaki yang terasa sangat lemas, seakan tak memiliki daya untuk  bergerak, fikiranpun demikian, bagai rota yang tak lagi berputar, semua ingin terhenti, dengan segala keruwetan yang ada yang telah dihadapi. Mungkin sudah seharusnya menghentikan sejenak segalanya, biarkan semua kembali normal, untuk kembali berproses menghadapi hari esok yang masih menjadi misteri, apa yang akan terjadi dan dihadapi nanti.

Mentari masih seperti biasa, bersinar dari ufuk timur dengan cerah dan terasa panas menyentuh kulit. Beranjak siang semakin naik pula posisinya, dan semakin terasa menyengat pula di tubuh. Mungkin ia ingin menunjukkan kekonsistenannya dalam menjalani setiap roda waktu, tanpa ada keluhan. Meski terkadang mendung melintas di siang hari, bukan berarti sang mentari tak hadir kala itu, ia tetap ada, hanya saja mungkin ia tak menunjukkan dirinya, ia tak muncul secara langsung di permukaan, tapi bisa kita ketahui, bahwa keberadaannya adalah karena disiang hari, meski diselimuti mendung dan bahkan hujan pun ikut mengiringi, tapi setidaknya, tidak tampak gelap seperti malam hari, itu lah bukti bahwa matahari tetap ada.

Demikian juga denganku, masih dengan waktu yang sama meski hari telah berganti. Keadaan secara umum semua tampak sama. Tidak ada yang harus merubah atau di rubah. Bila ada sesuatu yang berbeda didalam diri, maka itu hanyalah sebagian kecil warna yang ada  pada pribadiku yang menghiasi hariku saat ini, bukan menjadi penghalang untuk aku melanjutkan aktifitas. Terus melangkah, terus berbuat tanpa harus mempertimbangkan apa yang sedang dirasakan, pada saatnya nanti, akan berubah yang mudah-mudahan menjadi lebih baik.

Secangkir kopi pagi mejelang siang, sebagaimana biasa, selalu tersaji siap untuk dinikmati dengan segala rasa, tentu ditemani sahabat yang selalu setia untuk terus bersama, sebungkus rokok berada disampingnya. Perlahan, satu tegukan hingga berkali kali aku meminum kopi, dan juga sebtang du batang rokok ku hisap, semakin aku menikmati waktu, keadaan yang ada yang sedang ku rasakan. Semangat kembali muncul, fikiran mulai membuka dan terasa freshh untuk ku ajak bekerja. Normalisasi kembali terjadi.

Sedikit permasalahan mulai ku cerna perlahan lahan dalam fikiran. Apa dan bagaimana, nanti, esok, lusa bahkan yang akan datang, baik buruk jangka menengah dan jangka panjang, sikap dan tindakan yang seperti apa yang seharusnya aku tentukan. Semua terpetakan secara pelan, sistematis dan mulai menuju sasaran dengan baik. Hati yang begitu gelisah kini mulai memudar, semua bagai benang yang kusut kini mulai terurai secara teratur dan tertata rapi dalam benak fikiran.

Mungkin semuanya karena memang aku terlalu jauh dariNya, semua ku lakukan tanpa mengingat bahwa segala sesuatu, tentu tak lepas dari kehendakNya. Mulailah hati ini merasa tenang, stabil, emosi terkendali dan semua kembali normal. Semua energi mulai terkumpul, ikhlas pada kenyataan, siap berjuang kembali untuk segala kemungkinan kemungkinan yang akan kuhadapi dan ku dapatkan di kemudian hari yang pada akhirnya berbuah kesuksesan. Jangan sampai kalah terlebih mundur hanya karena permasalahan yang mungkin itu menjadi krikil kecil yang harus di lewati dalam meraih cita cita. Terus bergerak melangkah menuju hari esok yang lebih baik dan masa depan yang lebih jaya.

Jumat, 14 Oktober 2016

Secercah

Tentang cerita yang pernah ku alami

Tentang alur kehidupan yang sulit di prediksi

Stabilitas hati yang sukar dicari

Berkelana hingga relung sanubari

Sulit dimengerti namun terjadi

Satu hal yang tak mungkin dua kali

Ku simpan sebagai kenangan

Ku jadikan sebagai pelajaran

Memori sebuah perjalanan

Memberikanku sebuah pengalaman

Seakan bahagia tapi menyedihkan

Tak logis namun empiris

Agar aku bisa lebih memahami kehidupan

Menjalani dengan penuh liku

Menapakkan kaki dg penuh keyakinan

Berharap kebahagiaan didepan

Satu dalam fikiran

Yang selalu menjadi arah dan tujuan

Ku haus mendapatkan

Untuk tidak ku lepaskan.

JERIT MERAPI


















Dimalam hari

Suara riuh dari bagian negeri
Semua berlari
Semua menyelamatkan diri
Semua mengungsi
Tak terpikir oleh mereka akan seperti ini
Sulit dimengerti namun terjadi
Dari seluruh pelosok berhamburan
Berhujankan debu berselimutkan ketakutan
Jerit tangis meronta meminta bantuan
Hingga korban berserakan
Tak mampu melawan keadaan
Saksi mata harus merelakan
Ya Allah...
Jerit hambamu memohon
Ampuni dosa mereka  yang telah menghadapmu
Berikan kesabaran, ketabahan bagi mereka yang selamat
Biarlah kami menjadi saksi
Amarah merapi
Yg hingga kini belum berhenti

Kepentingan yang Abadi

Merupakan suatu kelumrahan yang memang telah tergariskan bagi setiap manusia untuk meraih mendapatkan dan memiliki segalanya serba “wah”. Baik dalam perekonomian, karir, kemewahan, nama besar dan yang lain yang semuanya memiliki orientasi pada eksistensi pada mata manusia yang melihat dengan pandangan yang begitu tinggi.

Tentu, tidak semua manusia demikian adanya, diantara manusia yang ada, sebagian pasti ada yang berbeda. Mungkin saja sebagaimana yang diuraikan diatas adalah bagian dari yang kebanyakan. Begitu kompleksnya sifat yang ada dalam diri manusia, maka potensi untuk menjadi segalanya juga sangat tidak menutup kemungkinan, itu lah sebabnya manusia harus melakukan kendali diri guna menyeimbangkan setiap langkah gerak dan sikap.

Dalam kehidupan sehari hari tentu tidak lepas dari interaksi secara sosial, baik itu individu dengan invidu, individu dengan golongan atau pun golongan dengan golongan. Interaksi sosial adalah sebuah keniscayaan yang ada dalam diri setiap manusia, karena setiap manusia membutuhkan pihak lain. Itulah sebabnya manusia di sebut makhluk sosial. 

Sebagaimana yang tertulis di bagian awal, bahwa dalam beriteraksi, setiap individu memiliki keinginan untuk selalu tampak “lebih” dari satu individu yang lain, dari berbagai sisi kehidupan harus selalu tampak lebih unggul, suatu keniscayaan ketika yang demikian terbersit dalam benak fikiran dan membuat manusia berhasrat. Namun yang menjadi pertimbangan adalah tentang bagaimana cara menampilkan dan cara mendapatkannya. Jika semua itu diraihnya dengan bersusah payah, usaha yang begitu tekun, keras yang tak mengenal lelah, maka semua akan sangat tampak dihadapan manusia, terlihat begitu istimewa bahkan sangat mulia. Kekaguman setiap yang melihat tidak ada henti-hentinya untuk memuji atas keberhasilannya ketika semua mampu disajikan dengan skill invidu yang mampu meraih segalanya secara arif dan bijaksana. Bahkan mungkin doa dari setiap teman, tetangga atau mungkin dari setiap mereka yang memandang.

Jika semua berjalan sebagaimana mestinya, maka semua akan baik baik saja, tidak akan menimbulkan permasalahn, baik antar invidu maupun sosial. Karena semua berjalan sesuai yang telah digariskan sebagai norma yang tertulis dan tidak tertulis tidak ada yang tertabarak dalam melanngkah untuk meraih apa yang di cita-citakan setiap invidu.

Persoalan akan timbul , ketika ada invidu yang bergerak melangkah mencoba untuk meraih dan memiliki segalanya, hidup mewah, harta melimpah, nama besar yang bergitu tersohor, namun semua itu dilakukan dengan tidak memiliki nilai pada sesamanya. Jika kita meraih keuntungan dari invidu lain, maka itu bukan perkara yang tidak boleh atau dilarang, namun yang menjadi persoalan adalah, ketika meraih keuntungan dengan merugikan pihak lain, apakah yang demikian masih dapat dikatakan keberhasilan dalam ia meraih kesuksesan. Kesuksesan yang bagaimanakah yang dapat dikatakan berhasil. Tidak ubahnya seperti binatang yang tangguh yang akan menjadi penguasa dalam suatu wilayah ketika tidak ada yang mampu mengalahkan, hukum rimba berlaku demikian, karena siapa yang kuat dialah yang menjadi penguasa, lalu apa bedanya manusia dengan binatang jika keuntungan di peroleh dengan mengabaikan selain dirinya, apakah pihak lain diuntungkan pula atau justru sebaliknnya, dirugikan.

Kembali pada sifat manusia yang begitu sangat kompleks, bahwa keseluruhan unsur terdapat dalam diri manusia, jika tidak mampu mengendalikan, maka salah satu diantaranya akan menjadi lebih dominan. Ketika hasrat kekuasaan lebih menguasai tanpa melakukan pertimbangan rasio dan hati, maka kebringasan yang akan terjadi, itulah sebabnya sebagian kecil yang memahami arti kepedulian, terhadap sesama, sulit mencari teman terlebih sahabat karib, sahabat sejati yang akan setia dalam setiap kondisi dan keadaan, sukar maupun duka, jika tidak memiliki keuntungan ketika bergaul bersamanya, atau setidaknya tidak ada sesuatu yang akan di peroleh, maka beralih atau mungkin meninggalkan untuk mencari yang lain,  karena bukan tidak mungkin bahwa, tidak ada pertemanan atau persahabatan yang sejati, namun, yang ada adalah kepentingan yang abadi. 
#Justmyopinion.